[caption id="attachment_13690" align="aligncenter" width="650"]

/> Sekretariat Golkar DKI Jakarta, tidak banyak yang tahu di situ pernah berdiri rumah Ketua CC PKI, Dipa Nusantara Aidit.[/caption]
kabargolkar.com - Sebagai organisasi sosial politik yang dilindungi dan dibesarkan militer, Golkar tentu berperan penting dalam melawan agitasi PKI di era Orde Lama, menumpas segala ancaman terhadap Pancasila, untuk kemudian ikut berperan serta menegakkan Orde Baru yang berupaya menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Puncak dari agitasi politik PKI adalah apa yang disebut Gerakan 30 September (G30S) 1965, di mana para perwira ABRI yang berhasil dipengaruhi PKI menculik dan membunuh Menpangad Letjen Ahmad Yani dan lima perwira teras SUAD dan seorang perwira pertama ajudan Menteri Koordinator Hankam/Kepala Staf ABRI Jenderal Nasution. Apa yang dilakukan PKI di Madiun 1948 diulangi kembali tujuh belas tahun berikutnya.
Gerakan 30 September yang hanya didukung di Jawa Tengah dengan mudah dipukul Angkatan Darat. Di berbagai daerah, rakyat bahu-membahu dengan ABRI melakukan pengamanan dan pembersihan kader-kader PKI. Sekber Golkar turut andil dalam gerakan pembersihan PKI, di mana hampir seluruh gedung milik PKI dan ormas onderbouw-nya direbut Sekber Golkar. Salah satunya adalah komplek rumah kediaman Ketua Umum CC PKI, D.N. Aidit yang dijadikan Sekretariat DPD I Golkar DKI Jakarta hingga sekarang.
Jenderal Suharto yang menggantikan Jenderal Ahmad Yani karena peristiwa G30S dianggap pahlawan oleh masyarakat, karena berhasil memperoleh mandat Bung Karno dalam bentuk Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) untuk menegakkan keamanan dan ketertiban. Pak Harto dalam kapasitasnya sebagai pengembang Supersemar kemudian membubarkan PKI.
Akibat huru-hara sosial politik sepanjang tahun 1965-1966, kekuasaan Presiden Sukarno dan Demokrasi Terpimpin runtuh. Bung Karno kemudian digantikan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden sejak 12 Maret 1967 dan menjabat Presiden RI definitif sejak 25 Maret 1968. Sejak itu dimulailah Orde Baru, dengan cita-cita menjalankan demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dalam upaya menegakkan Demokrasi Pancasila, Presiden Suharto memberi ruang bagi kekuatan politik lama untuk berpartisipasi dalam Kabinet Pembangunan. Beberapa elit partai politik era Orde Lama yang menjabat sebagai menteri di era Orde Baru antara lain: K.H. Idham Chalid dari Partai NU, Menko Kesejahteraan Rakyat kemudian Ketua DPR; Adam Malik dari Partai Murba, Menteri Luar Negeri kemudian Ketua DPR dan Wakil Presiden; Drs. Frans Seda dari Partai Katolik, Menteri Perhubungan; Sunawar Sukowati dari PNI, Kepala Bappenas kemudian Menko Kesra; H.M.S. Mintaredja dari Parmusi, Menteri Sosial; dan Harsono Tjokroaminoto dari PSII, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Golkar Menjadi Kekuatan Dominan Orde Baru
Sekber Golkar memanfaatkan momentum perubahan Orde Lama menjadi Orde Baru untuk mengonsolidasikan kekuatan politik. Sekber Golkar yang kemudian menjadi Golkar menjelang Pemilu 1971, dilegalkan menjadi peserta pemilu mewakili organisasi sosial politik selain partai. Mayjen Suprapto Sukowati, mantan perwira Divisi Brawijaya di era Revolusi, menjadi Ketua Umum Golkar sejak Oktober 1969.
[caption id="attachment_13685" align="aligncenter" width="650"]
