Kabar NasionalKabar DaerahKabar ParlemenKabar Karya KekaryaanKabar Sayap GolkarKagol TVKabar PilkadaOpiniKabar KaderKabar KabarKabar KabinetKabar UKMKabar DPPPojok Kagol Kabar Photo
KABAR KADER
Share :
Arah Baru Golkar dan Nasib Oposisi
  Kabar Golkar   13 Januari 2020

Perkembangan politik 2016 sungguh cepat di tingkat nasional. Dalam rapimnas akhir
Januari 2016, Partai Golkar Aburizal Bakrie mendeklarasikan dukungan kepada Pemerintah Jokowi-JK. Hal ini disusul dengan dukungan serupa dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Djan Faridz. Alhasil 2 kubu yang berseteru di Golkar dan PPP kini sama-sama menyatakan dukungan pada Pemerintahan Jokowi-JK.

Dukungan dari Golkar dan PPP makin menggelembungkan jumlah partai pendukung pemerintah di DPR RI. Semula, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang menjadi pengusung pasangan Jokowi-JK pada pilpres 2014, hanya berjumlah 208 alias 37,78% kursi DPR. Kursi tersebut terdiri dari PDIP (109 kursi), PKB (47), Nasdem (35) dan Hanura (16).

Dengan bergabungnya Golkar (91 kursi), PPP (39) dan sebelumnya PAN (49), maka kini jumlah partai pendukung pemerintah di DPR menjadi 387 kursi atau 70,36%. Sungguh suatu jumlah yang sangat mayoritas dibandingkan Koalisi Merah Putih (KMP) yang kini de facto hanya tinggal Gerindra (73 kursi) dan PKS (40).

Dua partai ini kalau digabung hanya berjumlah 113 atau 20,54% kursi. Adapun Demokrat (61 atau 10,89% kursi), pasca pilpres mendeklarasikan diri sebagai partai penyeimbang. Artinya, tidak bergabung ke KIH atau KMP.

Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa dukungan PAN di akhir 2015 dan kini Golkar dan PPP di awal 2016, makin memperkuat posisi Jokowi sebagai presiden secara matematika. Namun, belajar dari pengalaman Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang selalu didukung lebih dari 70% kursi DPR dalam dua masa pemerintahannya, hitungan matematika ini tidak boleh membuat Jokowi terlena.

Artinya, tidak otomatis semua kebijakan pemerintah dan permasalahan politik akan mendapatkan jaminan dukungan dari DPR.

Selain pengalaman SBY di atas, kehati-hatian Jokowi dalam melihat konstelasi di atas harus ditambah dengan beberapa variabel berikut. Pertama, sampai detik ini, PAN, Golkar, dan PPP belum mendapatkan jatah atau bagian kursi di Kabinet Kerja.

Harus diingat bahwa koalisi atau dukungan politik bersifat resiprokal. Bagi partai politik, dukungan kursi di DPR harus dimaknai dengan imbal-balik berupa adanya wakil partai di kursi kabinet. Jika dukungan politik itu tidak kunjung dibarengi dengan kursi kabinet, maka yang akan tercipta adalah dukungan politik "setengah-hati" yang bisa berubah jika ada permasalahan dalam politik atau kebijakan pemerintah.

Kedua, bergabungnya trio partai pendukung baru berisiko mengurangi jumlah kursi menteri dari partai lain yang saat ini ada di kabinet. Entah itu kursi PDIP, PKB, Nasdem atau Hanura. Berkurangnya kursi dari kuartet partai pendukung "asli" ini dapat menimbulkan gejolak politik baru, yang ujungnya adalah penurunan militansi PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura dalam mendukung pemerintah di DPR.

Jika toh masalah ini terselesaikan, dia akan menjadi "bara dalam sekam". Akibat kecilnya jatah kursi menteri dari semua partai pendukung pemerintah, maka derajat dukungan riil tiap partai juga akan menipis. Di sini kita akan mendapatkan koalisi "super-besar" namun rapuh di dalam. Solusi untuk masalah ini bagi Jokowi adalah mengurangi jumlah kursi menteri dari kalangan non-parpol

Kabar Golkar adalah media resmi Internal Partai Golkar. kami memberikan layanan media online, media monitoring dan kampanye digital politik untuk Partai Golkar dan seluruh kadernya.
About Us - Advertise - Policy - Pedoman Media Cyber - Contact Us - Kabar dari Kader
©2023 Kabar Golkar. All Rights Reserved.