Jakarta, (16/10/2025) – Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua dan terbesar di Indonesia, dengan jumlah lebih dari 42.000 unit dan 5 jutaan jumlah santri, berdasarkan data Kementerian Agama, telah memberikan kontribusi tak ternilai dalam membangun karakter dan intelektual bangsa jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun, perhatian negara terhadap eksistensi dan kemajuan pesantren dinilai masih belum optimal.
Menanggapi hal tersebut, Singgih Januratmoko, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Golkar, mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan komitmennya dalam memperkuat pondok pesantren melalui kebijakan yang konkret dan berkelanjutan.
“Pesantren adalah khazanah asli Indonesia, benteng moderasi Islam, dan pusat pencerdasan bangsa yang telah melahirkan banyak tokoh nasional. Sayangnya, support struktural dan anggaran dari negara belum sebanding dengan kontribusi besarnya. Untuk itu, kami mendorong tiga hal fundamental,” tegas Singgih dalam pernyataannya, [15/10/2025)].
Menurut Legislator Golkar Dapil Jateng 5, Saat ini pesantren belum memiliki wadah setingkat eselon I di Kementerian Agama yang secara khusus menangani kompleksitas dan dinamika pesantren. “ Pembentukan Ditjen ini sangat strategis untuk merumuskan kebijakan yang terpadu, mulai dari peningkatan kualitas pendidikan, pendataan, pembinaan, hingga pengawasan. Dengan struktur yang kuat, problem-problem klasik seperti yang terjadi pada Kasus Al Khoziny diharapkan dapat dicegah dan ditangani secara lebih efektif” ungkapnya
Singgih juga menekaknakn bahwa keberadaan Ditjen Pesantren akan memberikan posisi yang lebih setara bagi lembaga pendidikan Islam itu dalam struktur Kementerian Agama, sehingga program bantuan, pelatihan, serta audit teknis bangunan dapat tersalurkan dengan lebih efektif.
Selain itu juga pentingnya komitmen anggaran yang nyata dari negara terhadap pesantren. “Kami mendorong agar 20% dari dana pendidikan dalam APBN yang dialokasikan untuk Kementerian Agama, diprioritaskan bagi pengembangan pesantren. Anggaran ini dapat digunakan untuk peningkatan sarana prasarana, pelatihan guru, beasiswa santri, dan pengembangan kurikulum yang integratif antara ilmu agama dan sains-teknologi,” paparnya.
Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Golkar ini juga mendukung perlunya peningkatan kapasitas dan kualtias SDM untuk perbaikan tata Kelola pesantren. Menurut Singgih, pesantren merupakan wajah asli pendidikan Islam di Indonesia yang telah berperan besar dalam mencerdaskan bangsa dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Namun, perhatian pemerintah terhadapnya masih belum seimbang
“Masih banyak pesantren yang dikelola secara swadaya dengan fasilitas terbatas, teknologi minim, dan guru yang belum tersertifikasi. Data Balitbang Kemenag mencatat lebih dari 60 persen guru di pesantren belum bergelar sarjana. Ini bukan soal kemampuan, tapi soal akses pendidikan yang belum merata,” jelasnya.
Singgih menegaskan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sudah memberikan dasar hukum kuat bagi negara untuk mendukung pesantren dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, implementasinya masih berjalan lambat.
“Pembentukan Ditjen Pondok Pesantren tidak akan menambah beban Kementerian Agama, karena urusan haji kini sudah ditangani Kementerian Haji. Justru dengan Ditjen ini, pembinaan pesantren akan lebih fokus dan efektif,” pungkasnya