kabargolkar.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia
Bahlil Lahadalia kerap menginspirasi tokoh muda dan generasi penerus bangsa yang ingin sukses. Hal ini disebabkan karena Bahlil memulai semuanya dari titik nol dengan latar belakang keluarga kurang mampu.
Bahlil menghabiskan masa kecilnya di Papua lahir dari keluarga yang sederhana. Ayah Bahlil, almarhum Lahadalia, adalah kuli bangunan dan ibunya, Nurjani, bekerja menjadi kuli cuci gosok di rumah-rumah tetangganya. Bahlil Lahadalia adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Namun pantang bagi orang tua Bahlil untuk ada kata menyerah.
Di berbagai kesempatan, Bahlil mengakui kesuksesan dan raihan prestasinya dalam membangun bisnis tak lepas dari didikan kedua orang tuanya. “Bapak saya sosok yang bersahaja penuh tanggung jawab terhadap pekerjaan dan keluarga. Selain itu juga tegas dan displin. Sedang mamak saya mengajari mandiri, telaten dan kreatif,” ujar mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melansir dari situs Sahabat Keluarga Kemendikbud.
Dengan kondisi orang tua tidak mampu memberi nafkah berkecukupan semasa kecilnya, tapi nilai-nilai yang ditanamkan kepada dirinya agar selalu bersikap jujur, mandiri dan kreatif dapat menghantarkan dirinya membangun bisnis di Papua. ”Terwujudnya bisnis yang saya bangun berkat nilai-nilai orang tua yang ditanamkan sejak saya kecil,” kata Bahlil.
Pada kenyataannya, Bahlil dan tujuh saudaranya mampu menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat pendidikan tinggi/sarjana. Sebagian saudaranya menjalani profesi sebagai pegawai negeri dan guru. Orang tua Bahlil Lahadalia tinggal di Fak Fak, Papua Barat.
Dikutip dari laman Kemendikbud, ibunda Bahlil Lahadalia, Nurjani, menceritakan perjuangannya mendidik dan membesarkan delapan anak. ”Suami saya itu kuli bangunan, setiap hari mengaduk semen dan pasir. Karena sering mengisap serbuk semen dan debu, paru-parunya kena. Sembuh satu hari, 4 hari sakit, begitulah sampai meninggal tahun 2010 lalu,” kenang perempuan kelahiran Banda ini.
Situasi yang tidak menguntungkan ini membuat Nurjani ikut mendorong ekonomi keluarga dengan menjadi kuli cuci dan gosok di sekitar 8 rumah di Fak Fak. Perjuangan Nurjani kian berat sejak suaminya sakit-sakitan sehingga anggaran kehidupan harus ditanggungnya seorang diri.
Jual Kue
Kala itu, Bahlil Lahadalia masih kuliah dan baru lulus tahun 2002, sedangkan yang lain masih bersekolah, ada yang SD sampai SMA. ”Saya sekolahkan anak-anak sampai SMA. Saya minta kalau mau kuliah nyari uang sendiri, mama hanya bisa mendoakan,” ujar ibunda Bahlil.
Upah yang diterima sebagai kuli cuci gosok langsung dibagi-bagi untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Untuk kebutuhan sehari-hari, Nurjani membuat aneka kue dan jajanan pasar.
Anak-anaknya diminta membantu membawanya untuk disimpan di warung sekolah dan warung-warung di pemukiman serta pasar. Dengan kondisi itu, sehari-harinya, tak jarang mereka hanya makan nasi dengan garam dan sedikit sayuran.
Untuk urusan pakaian, Bahlil Lahadalia dan saudaranya menggunakan pakaian secara turun temurun artinya pakaian untuk anak paling besar kemudian diwariskan kepada adik.
Begitu pula dengan perlengkapan sekolah seperti sepatu yang sangat terbatas