"Semangat yang diemban dalam perubahan konstitusi tersebut adalah supremasi konstitusi; keharusan dan pentingnya pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden; pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik setiap lima tahun sekali; pengaturan hubungan dan kekuasaan antar cabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem check and balances antar cabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia, dan pengaturan hal-hal mendasar di berbagai bidang kehidupan," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, meskipun memilih bentuk negara kesatuan, para pendiri bangsa sepakat bahwa untuk mengelola negara sebesar, seluas, dan semajemuk Indonesia, tidak bisa tersentralisasi. Negara dengan karakteristik seperti ini, sepatutnya dikelola dengan melibatkan peran serta daerah dalam pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial-budaya, sesuai dengan keragaman potensi daerah masing-masing, dengan mengedepankan prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi.
"Sejalan dengan itu, konsepsi tentang semboyan negara dirumuskan dalam kalimat sakti Bhinneka Tunggal Ika, meskipun berbeda-beda, tetap satu jua. Di satu sisi, ada wawasan 'ke-eka-an' yang berusaha mencari titik-temu dari segala ke-bhinnekaan (keberagaman), yang terkristalisasi dalam dasar negara (Pancasila), Undang-Undang Dasar dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada wawasan kebhinnekaan yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan, seperti aneka agama dan keyakinan, ragam budaya dan bahasa daerah, serta unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya," pungkas Bamsoet.