Kabargolkar.com - Wacana pemerintah dalam menaikkan tarif cukai rokok tahun depan semakin
mendekati kenyataan. Apalagi setelah disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022.
Dalam APBN 2022 tersebut target Cukai Hasil Tembakau (CHT) ditargetkan sebesar kurang lebih Rp 193 triliun atau naik sebesar 11,9 persen (Rp 20 triliun) dari target tahun ini. Kondisi ini diperkirakan akan menambah catatan buruk kebijakan pemerintah terhadap industri tembakau yang sejak dua tahun terakhir mengalami tekanan besar akibat kenaikkan CHT yang eksesif.
Merespons hal itu, Anggota Komisi IV DPR Fraksi Golkar, Firman Soebagyo mengatakan, manuver pemerintah yang hanya mengandalkan penerimaan negara dari tarif CHT sangatlah tidak tepat.
“Memang UU APBN 2022 sudah diresmikan, tapi masih bisa kami perjuangkan untuk dibatalkan. Sebab kenaikkan tarif cukai memiliki efek domino yang buruk dan sudah terbukti sejak tahun 2019 ketika kenaikkan tarif cukainya sangat besar,” kata Firman, Senin (22/11).
Seperti diketahui bahwa sejak awal 2021, CHT kembali dihantam kebijakan rata-rata kenaikan tarif cukai sebesar 12,5 persen.
Selain itu, menurut Firman, kenaikan CHT berkelanjutan dan eksesif tersebut sangat berkontribusi terhadap kenaikan peredaran rokok ilegal.
Ini dibuktikan dengan angka penindakan barang ilegal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan justru meningkat. Pada tahun 2019 saja terdapat 21.062 penindakan dan meningkat pada tahun 2020 dengan total 21.964 penindakan.
Hampir 50 persen dari total penindakan tersebut merupakan kasus rokok ilegal. Tren peningkatan juga diyakini Firman akan terus meningkat pada tahun ini di mana di penghujung Juli 2021 sudah terdapat lebih dari delapan ribu kasus penindakan rokok ilegal.
“Bahkan saya yakin lebih dari itu data-datanya (rokok ilegal), karena setiap saya kunjungan ke daerah pasti ada keluhan rokok ilegal. Pemerintah seharusnya lebih kreatif dalam membuat kebijakan dengan membuat sistem yang lebih komprehensif terhadap kelangsungan IHT,” kata Firman.
Sebab, lanjutnya, hal tersebut tidak hanya merugikan negara dan industri tembakau yang mengalami potential loss besar, tapi juga masyarakat yang harus dihadapi dengan risiko produk hasil tembakau yang tidak terjamin dari produk ilegal.
Selain itu, prevalensi rokok masyarakat juga sudah terbukti tidak menurun seperti yang diharapkan pemerintah dengan meningkatkan tarif cukai yang berlebihan dalam beberapa tahun terakhir. Firman meyakini harga miring yang ditawarkan dari rokok ilegal justru meningkatkan aktivitas merokok di masyarakat.
Terkait konsumsi rokok, Pakar Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran Mudiyati Rachmatunnisa khawatir bahwa kenaikan tarif cukai justru akan berdampak pada naiknya jumlah perokok aktif.
Untuk itu, Murdiyati berharap pemerintah lebih berhati-hati dalam memutuskan tarif efektif CHT untuk tahun depan. Aspek kesehatan belum tentu bisa digapai sesuai target karena ancaman peredaran rokok ilegal.
“Peredaran rokok ilegal harus betul-betul bisa ditekan dengan sebaik-baiknya. Rokok ilegal tidak jelas kandungannya. Selain itu harganya sangat murah. Fenomena ini tidak hanya dapat menggiring konsumsi perokok aktif ke produk yang lebih murah, tapi juga bisa menciptakan perokok aktif baru,” kata Mudiyati