kabargolkar.com, Pemerintah saat ini tengah mempertimbangkan wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada). Berdasarkan pernyataan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jakarta, Basri Baco, sistem baru yang diwacanakan ini mengusulkan agar gubernur, bupati, dan wali kota dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), bukan melalui pemilihan langsung oleh masyarakat seperti yang selama ini berlaku.
Namun demikian, pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) tetap akan dilakukan secara langsung oleh rakyat. Hal ini disampaikan Baco di Gedung DPRD Jakarta, Jumat (10/1/2025). “Ada wacana di pusat sana terkait pilkada akan dipilih oleh DPRD. Khusus Presiden dan Wakil Presiden, anggota legislatif yang akan dipilih langsung oleh warga dan masyarakat,” ungkapnya.
Baco yang juga politisi Golkar ini menjelaskan bahwa gagasan ini mencuat dalam perayaan Hari Ulang Tahun Partai Golkar yang dihadiri Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, sudah ada kesepakatan awal di antara para petinggi partai politik terkait wacana ini. Salah satu alasan utama yang dikemukakan adalah untuk mengurangi biaya politik yang tinggi dan meminimalisasi praktik transaksional yang sering terjadi dalam Pilkada langsung.
“Pilkada yang kemarin itu cost politik itu terlalu tinggi dan situasi emosional di bawah itu sudah sangat transaksional sekali, yang menang pusing apalagi yang kalah,” ujar Baco. Ia menambahkan bahwa kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada langsung sering menghadapi tekanan psikologis akibat tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan selama proses pemilihan.
Baco secara pribadi menyatakan dukungannya terhadap wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Menurutnya, sistem ini sejalan dengan prinsip perwakilan rakyat melalui DPRD. “Kalo saya pribadi, kalo konstituen saya lebih setuju yang penting calegnya dipilih langsung, yang penting legislatif dipilih langsung, presidennya dipilih langsung, gubernur wali kota mah udah ada perwakilan, namanya DPRD provinsi dan DPRD kabupaten kota,” katanya.
Namun, Basri Baco juga mengakui bahwa penerapan wacana ini memerlukan kajian mendalam serta proses legislasi yang tidak sederhana. “Kita anggap aja ada niat baik dan positifnya. Tapi ini perlu kajian panjang, tidak cepat juga, tidak mudah juga, kalo dari pusat sudah ditentukan kan kita DKI cuman ngikut. Pasti ada Undang-undangnya dan diputuskan dari pusat, kita ikut-ikut saja,” tambahnya.
Wacana perubahan sistem Pilkada ini memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, pengamat politik serta politisi. Salah satu alasan mendukung sistem Pilkada tidak langsung adalah untuk mengurangi dampak negatif seperti politik uang dan konflik sosial yang sering terjadi dalam Pilkada langsung. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa sistem ini dapat mengurangi akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat karena kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat.
Perubahan ini juga akan berdampak pada relasi antara eksekutif dan legislatif di tingkat daerah. Kepala daerah yang dipilih oleh DPRD cenderung memiliki kedekatan politik dengan para anggota DPRD, yang dapat memengaruhi dinamika pengawasan dan kerja sama antara kedua lembaga tersebut. (nandy)