Muhidin M. Said; Penurunan Industri Rokok Nasional, Akan Berdampak pada Tenaga Kerja dan Penerimaan Sektor Cukai
Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Muhidin Mohamad Said menyoroti kekhawatiran terhadap penurunan pendapatan industri rokok nasional yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Dimana penurunan tersebut tidak hanya berdampak pada sisi produksi dan profitabilitas, tetapi juga akan mengancam ekosistem tenaga kerja yang bergantung pada industri tembakau.
Persoalan ini disampaikan Muhidin usai melakukan Kunjungan Kerja Reses Komisi XI ke PT Gudang Garam di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Jumat (11/04/25).
Disamping itu, Muhidin juga menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kampanye kesehatan dan perlindungan terhadap industri rokok yang legal dan mematuhi peraturan.
“Kementerian Kesehatan terus mengampanyekan larangan merokok, tapi di sisi lain, industri rokok memberikan dampak ekonomi besar. Dari petani tembakau hingga pekerja pabrik, semua bergantung pada sektor ini. Jadi, tidak bisa hanya dilihat dari aspek kesehatan saja,” katanya.
Ia menegaskan bahwa pentingnya upaya pemerintah dalam menjaga kesehatan masyarakat, tetapi di sisi lain negara juga sangat bergantung pada penerimaan dari sektor cukai.
“Ini memang situasi dilematis. Kita ingin menjaga kesehatan masyarakat, tetapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa sektor ini menyumbang lapangan kerja besar dan penerimaan negara,” ujarnya.
Dalam hal ini, Muhidin mencontohkan wilayah seperti Pandaan di Jawa Timur yang sangat bergantung pada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Jika operasional pabrik rokok terganggu, maka pembangunan daerah pun akan terdampak.
“Kalau pabrik rokok macet, pendapatan daerah ikut terganggu. Ini menyangkut nasib ribuan pekerja dan stabilitas fiskal daerah,” ungkapnya.
Muhidin juga menekankan perlunya koordinasi lintas kementerian dalam merumuskan kebijakan terkait industri tembakau.
“Kebijakan jangan dibuat sektoral. Harus ada sinergi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan kementerian lainnya. Jangan sampai kampanye kesehatan yang terlalu agresif justru mematikan industri tembakau yang legal dan patuh,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia juga mengapresiasi langkah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang membentuk satuan tugas khusus dalam penanggulangan rokok ilegal. Namun ia mengingatkan bahwa tantangan di lapangan masih besar.
“Saya mendapat laporan adanya kerja sama antara pengusaha kecil yang jumlahnya besar dan memengaruhi pasar secara signifikan. Rokok ilegal ini tidak membayar cukai sama sekali. Ini jelas merugikan negara,” ujarnya.
Penindakan terhadap peredaran rokok ilegal, menurut Muhidin harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan.
“Mereka sudah menggunakan banyak cara untuk mengelabui petugas. Oleh karena itu, sinergi antara Bea Cukai dan aparat penegak hukum menjadi sangat penting dalam mencegah dan menindak peredaran rokok ilegal,” tutupnya.
Tercatat hingga Februari 2025, penerimaan cukai nasional tercatat sebesar Rp39,6 triliun, mengalami penurunan sebesar 2,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh turunnya produksi rokok pada November dan Desember 2024 sebesar 5,2 persen.