Dari Sipil
Pada Munas Golkar 1983 yang memilih Menteri Sekretaris Negara Sudharmono sebagai Ketua Umum, Sarwono diangkat menjadi Sekjen pertama dari kalangan aktivis sipil.
Sebelumnya Ketua Umum dan Sekjen Golkar selalu dijabat kelompok perwira militer, Brigjen TNI Sapardjo yang pernah menjadi Menteri Sosial Kabinet Pembangunan III adalah Sekjen dari Munas 1969 yang memilih Suprapto Sukowati sebagai Ketua Umum, hingga masa jabatan Amir Murtono berakhir.
Terpilihnya duet Sudharmono dan Sarwono sebagai Ketua Umum dan Sekjen Golkar bukannya tanpa ganjalan, para perwira militer banyak yang menentang kepemimpinan Sudharmono, karena yang bersangkutan tidak dianggap perwira lapangan dan bukan dari angkatan 45.
Sudharmono sendiri saat pecahnya revolusi masih berusia sekolah menengah dan menapaki karir militer sebagai perwira korps kehakiman, namun kuatnya dukungan Sarwono dan aktivis intelektual lainnya seperti Akbar Tanjung dan birokrasi sipil yang dipimpin Ginandjar Kartasasmita, tidak menggoyahkan kedudukan Sudharmono.
Saat Sarwono menjadi Sekjen Golkar, beliau meletakkan dasar kebijakan kaderisasi sampai ke tingkat desa, dikenal dengan nama Karakterdes (Kader Penggerak Teritorial Desa), Golkar menjadi organisasi kader yang memiliki kader sampai ke pedesaan, tidak selalu mengandalkan operasi teritorial dan sosial politik ABRI.
Atas inovasinya ini, Sarwono menjadi direspek militer yang sebagian dari mereka mulai ingin menjadi kekuatan politik di atas semua golongan, dan juga direspek aktivis yang berniat menyipilkan Golkar menjadi semakin mandiri dari Pemerintahan.
Sarwono kemudian ditunjuk menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Kabinet Pembangunan V (1988 – 1993), jabatan Sekjen Golkar tetap dipegang aktivis sipil, yaitu kawan dekatnya sendiri sesama Grup Tamblong Dalam, Rachmat Witoelar, sejak menjadi aktivis mahasiswa di ITB maupun di organisasi lokal PMB (Perhimpunan Mahasiwa Bandung).
Menghadapi Perubahan Iklim Global
Puncak karir politik Sarwono Kusumaatmadja di masa Orde Baru adalah menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup pada masa Kabinet Pembangunan VI (1993 – 1998), menggantikan Dr. Emil Salim yang sudah tiga kali menjabat.
Saat itu isu perubahan iklim akibat pemanasan global sedang kencang-kencangnya disuarakan para aktivis dan juga organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992. 84 negara kemudian menandatangani kerangka kerja perubahan iklim tersebut di Kyoto pada tanggal 11 Desember 1997, dikenal sebagai Protokol Kyoto.
Indonesia memang cukup lama meratifikasi Protokol Kyoto sebagai dasar kebijakan pembangunan karena perubahan politik dari Orde Baru ke Reformasi 1998, baru disahkan menjadi Undang-Undang no. 17/2004 pada tanggal 24 Juli 2004 saat Menteri Lingkungan Hidup dijabat Nabiel Makarim.
Namun Sarwono adalah tokoh dibalik layar diratifikasinya Protokol Kyoto menjadi undang-undang, pria yang sempat menjadi Menteri Eksplorasi Laut dalam Kabinet Gus Dur tersebut sejak 2016 diangkat sebagai Ketua Dewan Pengarah Perubahan Iklim (DPPI).
DPPI sendiri sebelumnya adalah Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang diketuai Rachmat Witoelar, sahabat karib Sarwono sendiri yang juga pernah menjadi Menteri Lingkungan Hidup dalam Kabinet SBY jilid I (2004 – 2009).
Sebagai Ketua DPPI, Sarwono giat mendorong dimasukkannya kebijakan perdagangan emisi untuk mengurangi polusi karbon, serta konservasi terumbu karang laut, isu yang disuarakan Sarwono sejak menjadi Menteri Eksplorasi Laut.[
Kabargolkar]