kabargolkar.com, JAKARTA- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan bahwa keberadaan kelompok intoleran di Indonesia bukanlah isapan jempol belaka, namun nyata adanya. Mereka juga adalah sekelompok orang yang sangat mungkin membawa paham radikalisme yang jelas tidak mencerminkan kepribadian Pancasila. Karena, salah satu nilai utama Pancasila adalah tenggang rasa dan menghormati perbedaan.
"Temuan SETARA Institute sungguh membuat kita tersentak. Survei SETARA Institute pada tahun 2016 di DKI Jakarta dan Bandung Raya terhadap 171 SMA Negeri menunjukkan terjadinya persoalan serius pada sisi toleransi siswa. 4,6 persen responden mendukung organisasi tertentu yang melarang pendirian rumah ibadah; 1 persen responden setuju terhadap gerakan ISIS; 11 persen responden setuju jika Indonesia dibangun berdasarkan khilafah; dan 5,8 persen setuju mengganti Pancasila sebagai dasar negara," ujar Bamsoet saat menjadi Keynote Speech dalam Seminar Nasional 'Merawat Kemajemukan, Memperkuat Negara Pancasila', yang diadakan SETARA Institute, di Jakarta, Senin (11/11/19).
Legislator Partai Golkar Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini juga memaparkan lebih jauh hasil penelitian kualitatif SETARA Institute (2019) di 10 kampus perguruan tinggi negeri, menemukan bahwa terdapat wacana dan gerakan keagamaan di perguruan tinggi negeri yang berpotensi mengancam bagi negara Pancasila. Secara kualitatif gejala radikalisme beragama juga menyasar aparatur sipil negara (ASN) sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat.
"Jumlah ASN yang terpapar radikalisme sangat mengkhawatirkan. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mensinyalir ASN yang pro radikalisme, atau bersikap anti terhadap Pancasila jumlahnya lebih dari 10 persen. Tidak berhenti di situ, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia juga menjadi lahan untuk mentransmisikan paham radikalisme. Tidak kurang dari 4 persen TNI dan POLRI turut terpapar dengan paham yang membahayakan negara Pancasila," papar Bamsoet.
Oleh karenanya, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menegaskan, toleransi haruslah menjadi kebutuhan bagi semua elemen bangsa, karena kebhinnekaan adalah elemen pembentuk bangsa. Jadi, kebhinnekaan bukan hanya fakta sosiologis yang hanya diterima sebagai sesuatu yang given, tetapi harus terus menerus dirawat.
"Kesadaran kebangsaan yang mengkristal, yang lahir dari rasa senasib dan sepenanggungan akibat penjajahan, telah berhasil membentuk wawasan kebangsaan Indonesia seperti yang tertuang dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yaitu tekad bertanah air satu dan berbangsa satu serta menjunjung bahasa persatuan, Indonesia," tegas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, ketidakmampuan dan ketidaksiapan sebagian masyarakat untuk menerima kemajemukan tersebut telah mengakibatkan terjadinya berbagai gejolak yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dan hal ini telah terjadi sejak awal kemerdekaan hingga reformasi, selalu ada dalam bentuk, motif, dan gerakan yang berbeda-beda. Agama sebagai salah satu jenis identitas yang sifatnya majemuk di Indonesia, juga turut melahirkan berbagai gejolak tersebut, bahkan di antaranya cenderung bersifat radikal.
"Ekspresi keagamaan di ruang publik yang intoleran dengan sendirinya mengancam segi-segi kemajemukan yang kita miliki