Kabargolkar.com - Pemerintah berencana menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sembako, terutama
beras jenis premium dan daging impor.
Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), akan dikenakan tarif PPN 12 persen dan multitarif 5 persen hingga 25 persen.
“Ada gap penerimaan pajak, karena kebijakan dan pengecualian, serta kepatuhan yang belum optimal,” kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam webinar RUU PPN terhadap Industri Strategis Nasional yang dilaksanakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Kamis (1/7).
Yustinus menyebut, kini sembako yang tidak kena pajak, hanya orang kaya yang menikmati. “Beras Jepang dan daging wagyu misalnya, tentu beda dengan beras dan daging yang biasa dikonsumsi masyarakat kebanyakan,” ucap Yustinus.
Terkait itu, Anggota Komisi VI DPR yang juga Ketua Umum DPP Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Singgih Januratmoko, mengkritisi rencana pemerintah tersebut, sebab keputusan itu akan merugikan peternak.
Singgih menjelaskan efisiensi dalam produksi menjadi tantangan yang besar bagi industri perunggasan. Politisi Golkar itu menambahkan, persaingan usaha, didalam maupun di luar negeri sangat ditentukan oleh efisiensi dalam produksi.
“Seperti Brasil telah memenangkan gugatan sengketa perdagangan di WTO. Dengan demikian, negara itu bisa memasukkan daging ayam ke Indonesia,” ucap Singgih dalam keterangannya yang kami lansir dari laman, archipelagoinsider.com, Jumat (2/7/2021).
Dikarenakan pasokan, harga DOC dan sapronas stabil, peternak di Brasil dapat berproduksi efisien. Sehingga mereka dapat menekan harga pokok penjualan (HPP).
Saat ini, HPP ayam peternak mandiri di Indonesia berkisar pada Rp 19.000 per kg. Sementara HPP ayam di Brasil hanya berkisar Rp 9.000 hingga Rp 10.000 per kg.
“Bisa dipastikan, bila daging ayam Brasil masuk ke Indonesia akan menggulung peternak rakyat,” ujarnya.
Dalam kurun waktu setahun terakhir, perunggasan Indonesia menikmati harga yang stabil. Karena pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Peternakan mampu menjaga supply dan demand.
“Dalam jangka pendek, pada tahap hilir, menjaga supply dan demand ini memang menciptakan bisnis yang bagus. Namun dalam jangka panjang, akar masalah di hulu bisnis perunggasan tidak terselesaikan,” katanya.
Saat ini, selain bergantung pada pakan yang menyumbang 50 persen dari HPP para peternak, industri perunggasan juga sangat bergantung kepada Grand Parents Stock atau GPS yang nantinya menghasilkan anak ayam usia sehari atau DOC.
Bila dari dua unsur itu terjadi kenaikan biaya, maka HPP yang dikeluarkan peternak akan membengkak, belum lagi masalah pajak terhadap daging dan telur.
Singgih menilai masalah di hulu harus diselesaikan, terlebih jika dikenakan pajak maka harga daging ayam dan telur melambung. Hal ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani.
Selain tidak bergantung pada impor, protein hewani yang terdapat dalam daging ayam dan telur juga masih terjangkau, karena mampu dipenuhi di dalam negeri.
“Saya bisa membayangkan, bila jagung sebagai bahan pokok pakan ayam juga kena pajak, biaya produksi juga turut naik