Kabargolkar.com - Anggota Komisi X DPR RI asal Fraksi Partai Golkar Ferdiansyah menekankan pentingnya perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Hal itu penting agar lebih relevan dengan kondisi dan perkembangan saat ini.
“UU Cagar Budaya ini disahkan tahun 2010 dan sebenarnya ini sudah hampir memasuki tahun ke-14. Dalam perjalanannya beberapa perintah UU tersebut kurang optimal dijalankan. Pertama, adanya kewajiban seseorang yang memiliki cagar budaya benda untuk memelihara,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (27/11/2023).
Ferdiansyah menuturkan, tidak semua warga Indonesia yang memiliki cagar budaya mampu untuk memelihara, sehingga negara mesti hadir memberikan subsidi atau perhatian lain, bisa berupa subsidi pajak atau dibebaskan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Kedua, lanjut dia, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, dimana penentuan cagar budaya tidak mesti dikaitkan dengan tahun 2010 karena sudah tidak relevan.
“Perkembangan teknologi sudah sangat maju, contohnya kecerdasan artifisial, kan bisa dimanfaatkan untuk melakukan revitalisasi atau restorasi terhadap cagar budaya,” ucapnya.
Ketiga adalah kepastian tentang penetapan cagar budaya, baik itu di level kabupaten/kota atau provinsi, agar bisa segera ditetapkan di tingkat nasional, bahkan diusulkan menjadi cagar budaya dunia yang ditetapkan UNESCO.
“Kalau dua tahun tidak ditetapkan ya diganti. Jangan sampai tujuh tahun atau berlarut-larut (tidak ditetapkan), karena itu digunakan oleh kepastian pemerintah daerah (pemda) demi memastikan penganggaran juga,” tuturnya.
Keempat yakni penguatan sumber daya manusia baik dari segi jumlah atau kapasitasnya.
“Jangan sampai ada temuan cagar budaya yang banyak, tetapi kita tidak merespons dengan cepat. Ini berkaitan juga dengan pemanfaatan teknologi seperti yang sudah saya sebutkan. Jadi keempat hal itulah yang mempengaruhi, UU Cagar Budaya mesti ditinjau kembali dan direvisi,” papar legislator Partai Golkar ini.
Apabila cagar budaya sudah ditetapkan dengan cepat, diutarakan dia, maka bisa dimanfaatkan untuk yang lain, misalnya pemanfaatan objek pariwisata yang berkaitan untuk dijual atau dijadikan daya tarik wisata.
“Kalau ada kaitannya dengan pariwisata dan ada di wilayah Indonesia, misalnya benda-benda yang ada di bawah laut dan tidak dimasukkan kategori cagar budaya, kan bisa dimanfaatkan negara untuk dijual kepada kolektor atau dipajang. Itu kan bisa menjadi penerimaan negara bukan pajak,” pungkasnya.