Kabargolkar.com -
Dalam rangka memperingati 90 tahun Sumpah Pemuda pada tanggal
28 Oktober, Redaksi Kabar Golkar akan mengakhirinya dengan dua tulisan bagian akhir sejarah Partai Golkar dengan sejarah Golkar sebagai wahana pembinaan pemimpin bangsa dari generasi muda.
Jika tulisan sebelumnya mengisahkan bagaimana dinamika di tubuh elit perwira militer ABRI dalam menggerakkan Golongan Karya, kisah para pemuda Angkatan 66 yang beraliansi strategis dengan ABRI membubarkan PKI dan menegakkan Orde Baru adalah kisah yang tak kalah penting.
[caption id="attachment_14273" align="aligncenter" width="700"]

Aksi KAMI/KAPPI menuntut pembubaran PKI, salah satu tonggak sejarah peran pemuda dalam perubahan sosial politik Indonesia.[/caption]
Sebelumnya kata ‘Pemuda’ adalah gambaran kelas baru dari kalangan menengah ke atas yang menikmati politik etis di era pergerakan nasional, kemudian bergeser menjadi kekuatan revolusi bersenjata pendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Angkatan Pemuda Indonesia (API), adalah organisasi laskar bersenjata yang menggunakan kata pemuda. Organisasi-organisasi tersebut dengan segala dinamikanya menjadi warna zaman Indonesia sebelum Orde Baru.
Eksponen 66 yang berkumpul dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) kemudian Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), KASI dari sarjana, KABI dari buruh, KAWI dari Wanita dan lain-lain adalah nafas baru dalam pemaknaan pemuda. Pemuda adalah satu kelompok intelektual tercerahkan, roushan fikr dalam terminologi intelektual revolusioner Iran Dr. Ali Syariati, yang memiliki kesadaran untuk berperan penting memajukan alam pikiran masyarakatnya. Peran memajukan alam pikiran masyarakat itulah yang dicoba Eksponen 66 selama Orde Baru.
Eksponen 66 kemudian mengorganisasikan diri dalam suatu organisasi, tentunya organisasi wadah tunggal sesuai ruh negara integral zaman Orde Baru. Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia Rum Aly dalam tulisannya mengisahkan, dengan bantuan Aspri Presiden bidang Politik, Ali Moertopo, KAMI yang bersifat satuan tugas ad hoc untuk mendorong pembubaran PKI, hendak dikembangkan menjadi National Union of Student (NUS), mengambil istilah organisasi nasional mahasiswa di Inggris, Singapura dan negara-negara Barat.
Tetapi usaha pembentukan NUS ini ditolak banyak kelompok mahasiswa, terutama kelompok Dewan dan Senat Mahasiswa di Bandung. Dipelopori Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITB Wimar Witoelar dan pemimpin organisasi mahasiswa Bandung lainnya, KAMI mulai ditinggalkan satu-persatu baik organisasi mahasiswa intrakampus (Dewan Mahasiswa) maupun ekstrakampus. Fenomena ini dikenal dengan istilah ‘Depolitisasi Kampus’.
Mahasiswa beramai-ramai meninggalkan politik pada dasarnya diawali penolakan mereka terhadap duduknya para pemimpin KAMI di dalam DPR Gotong Royong. Cosmas Batubara dari PMKRI, Liem Bian Koen (Sofyan Wanandi) dari PMKRI, Abdul Gafur, Fahmi Idris, Firdaus Wajdi dan Mar’ie Muhammad dari HMI, Zamroni dari PMII, Slamet Sukirnanto dari IMM, Djoni Simandjuntak dari GMKI, Yozar Anwar dan Nono Anwar Makarim dari IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia), Rahman Tolleng dari Somal (Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal), David Napitupulu dari Mapantjas (Mahasiswa Pancasila, sayap mahasiswa IPKI), Suryadi dari GMNI, adalah beberapa nama aktivis mahasiswa 1966 yang duduk di dalam DPR-GR.
[caption id="attachment_9118" align="aligncenter" width="696"]
