Kabargolkar.com – Ketua Umum Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI), Soedeson
Tandra, turut mengomentari adanya polemik penanganan kasus dugaan suap yang menjerat Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. Menurutnya, pemerintah perlu melakukan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang mengatur Peradilan Militer.
"Konstitusi mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang pemerintahannya didasarkan pada hukum atau rechtstaat. Karenanya, rechtstaat harus dimaknai sebagai negara hukum dengan sistem civil law yang mengamini adanya pemisahan kekuasaan," kata Soedeson Tandra dalam keterangannya, Selasa (8/8/2023).
Pemisahan tersebut juga berlaku dalam bidang pengadilan. Merujuk pada UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, peradilan di Indonesia terbagi ke dalam empat jenis yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Agama.
Menurut Pasal 89 KUHAP disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum yang masuk dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka yang mengadili adalah peradilan umum.
Pasal 42 Undang-Undang KPK juga menyebutkan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama orang yang tunduk pada peradilan militer.
“Berkaca pada kasus ini, saya menilai kerancuan dari sistem peradilan umum dan peradilan militer menjadi masalah sampai saat ini. Hukum sipil yang berlaku di Indonesia memiliki bandingan yaitu peradilan militer yang seharusnya diterapkan hanya pada penegakan disiplin militer seperti desersi atau kejahatan perang,” terang Soedeson yang dikutip melalui Instagram @kawanpacetandra pada Selasa, (15/8/23).
Apabila militer melakukan tindak pelanggaran hukum umum, maka peradilannya harus peradilan umum. Jika hal tersebut ditegakkan, maka akan tercipta dua hal.
"Pertama, penegakan supremasi pemerintahan sipil atas militer. Artinya militer tunduk pada pemerintahan sipil yang berlaku secara universal di negara-negara demokrasi moderen," ucapnya.
Kedua, penegakan prinsip equality before the law atau persamaan di hadapan hukum yang akan berdampak pada patahnya stigma hukum hanya tajam ke bawah sementara tumpul ke atas.
"Namun, yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan dua hal tersebut adalah masih berlakunya UU Peradilan Militer yang sampai saat ini belum dilakukan perubahan. Dampak yang kemudian muncul adalah keengganan militer untuk diadili melalui peradilan umum ketika melakukan pelanggaran hukum sipil," ujar Tandra.
Perbedaan perlakuan dalam hukum bagi militer pada gilirannya menimbulkan pandangan-pandangan negatif. Sebut saja anggapan adanya impunitas hukum terhadap militer yang menjadi konsekuensi logis apabila peradilan militer masih diberlakukan tanpa adanya perubahan dan penyesuaian.
"Sikap yang diambil KPK dengan memberikan kewenangan peradilan kasus ini pada Puspom TNI dan menyatakan adanya kekeliruan prosedural oleh KPK pasca penolakan, merupakan bentuk ketidaktegasan KPK, juga menjadi dasar kuat bagi perlunya perubahan atas aturan peradilan militer karena menimbulkan kerancuan dalam penanganan kasus-kasus semacam ini," papar politisi yang juga berprofesi sebagai pengacara ini.
Sebelumnya, Menko Polhukam, Mafhud MD, memberikan pendapat yang senada soal perlunya revisi Undang-Undang Peradilan Militer pasca adanya kasus ini